KETIK, SURABAYA – Perkara kasus korupsi dan gratifikasi yang menjerat Wakil Ketua DPRD Jawa Timur (non aktif) Sahat Tua P. Simandjuntak berpotensi melebar ke politisi atau pihak lain.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan akan terus mengusut tuntas korupsi dan gratifikasi dalam penyaluran dana hibah pokok pikiran (Pokir) APBD Pemprov Jatim.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK Arif Suhermanto menyatakan, dari persidangan selama ini tidak tertutup kemungkinan modus rasuah yang dilakukan Sahat dalam kasus ini diduga juga banyak dilakukan pejabat lainnya.
"(Pejabat legislatif atau dewan yang terseret tidak cuma Sahat) tentu saja, selama fakta itu mengungkap keterlibatan yang lain, anggota dewan lain, tentu kami akan sikapi lebih lanjut," jelas Arif, Selasa (19/9/2023).
Meski demikian, KPK saat ini masih berfokus pada persidangan terhadap terdakwa Sahat dan kawan-kawan.
Jika nantinya terungkap fakta persidangan tentang keterlibatan pihak lain, maka JPU KPK bakal melakukan serangkaian langkah hukum lanjutan guna menindaklanjuti hal tersebut.
"Nanti, ini masih berkaitan dengan perkara Pak Sahat. Tentu saja (berkembang) dengan mencermati fakta-fakta yang terungkap di persidangan ini, kami akan mencermati bagaimana hakim mempertimbangkan semua fakta yang ada di sini. Kami akan cermati lagi," kata Arif.
Sebelumnya, Sahat membacakan pleidoinya yang tertuang dalam empat lembar kertas HVS, dihadapan majelis hakim, di Ruang Sidang Candra Kantor Pengadilan Tipikor Surabaya, Jumat (15/9/2023) siang lalu.
Sahat membacakan pleidoinya dengan lantang mengalun dan juga terdengar agak berima, melalui microphone ruang persidangan yang terhubung dengan alat pengeras suara di kedua sisi ruangan.
Pada bagian pertama, politisi senior Partai Golkar ini menyampaikan sejumlah poin keberatannya atas dakwaan dan tuntutan yang disampaikan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) sepanjang jalannya persidangan sejak beberapa bulan lalu.
Intinya, Sahat tetap menolak didakwa dan dituntut melakukan korupsi dana hibah sekitar Rp39,5 miliar, seperti dalam agenda sidang sebelumnya.
Sahat yang mengenakan kemeja batik lengan pendek bermotif flora berpadu warna kuning itu, tetap bersikukuh hanya menerima uang dari kedua terdakwa sebelumnya, Abdul Hamid dan Ilham Wahyudi, senilai total Rp2,75 miliar, melalui perantara terdakwa Rusdi.
Rinciannya, tahap pertama satu miliar rupiah. Tahap kedua, Rp250 juta. Tahap ketiga Rp500 juta. Dan, tahap keempat satu miliar rupiah yang akhirnya membuat Sahat terkena operasi tangkap tangan (OTT) KPK, pada tanggal 14 Desember 2022.
"Sedangkan sisanya Rp36 miliar sebagaimana kesaksian saudara Hamid dan saudara Eeng, Ilham diberikan pada almarhum Kosim uang itu tidak pernah saya terima," ujar Sahat.
Sahat juga menegaskan, dirinya tidak pernah membuat kesepakatan meminta uang dengan siapapun terkait persentase fee 20 persen atau berapapun persentase tentang pengusulan dana hibah.
Ia menyebutkan, kesaksian yang bermuatan informasi tersebut seperti disampaikan oleh terdakwa Abdul Hamid dan Ilham, pada sidang beberapa waktu lalu, tidak benar.
"Uang puluhan miliar itu sangat besar dan tidak mungkin secara logika ada orang yang menyerahkan orang dan orang itu tidak pernah tahu orang tersebut sampai atau tidak pada si penerimanya," katanya.
Kemudian, Sahat menegaskan, dirinya sama sekali tidak mengenal sosok Kosim yang kerap disebut-sebut memiliki peran seperti terdakwa Rusdi, penghubung Sahat dengan terdakwa Ilham Wahyudi dan Abdul Hamid, sebelum tahun 2022.
Padahal, Sahat mengaku mengenal kedua terdakwa tersebut, pada tahun 2022. Itu pun, saat keduanya datang ke kantor tempatnya berdinas. Dan tidak pernah dikenalkan oleh siapapun.
"Dalam fakta persidangan saudara Abdul Hamid dan Ilham Wahyudi mengatakan tidak pernah mengetahui dan tidak menyaksikan almarhum Kosim menyerahkan uang berturut-turut sampai Rp36,5 miliar kepada saya. Dan tidak pernah terkonfirmasi kepada saya dari Abdul Hamid Ilham Wahyudi atau Kosim," jelasnya. (*)