KETIK, SURABAYA – Kekayaan alam dan keragaman budaya, bahasa, adat istiadat, suku bangsa serta kepercayaan yang dianut, menjadikan Indonesia negara yang majemuk dan indah. Negeri pemilik 17.001 pulau,1340 suku, dan berbagai macam warisan budaya dunia tersebut bersatu dalam persatuan yang damai dan harmonis.
Keragaman tersebut pastinya membuat setiap orang ingin menyaksikan dan menikmatinya secara langsung, namun tak jarang orang hanya bisa menyaksikan hal tersebut melalui surat kabar.
Nurul Wasi’atur Rafi’ah (28) asal Banyuwangi adalah orang yang beruntung mendapat berkesempatan melihatnya sendiri. Di tempat asing nan jauh dari kota asal, Nurul memulai perjalanannya sebagai sukarelawan di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar).
Lewat perjalanannya tersebut, Nurul menemukan bahwa Indonesia sangat beragam dan dia berkesempatan mengenal Indonesia lebih dalam. Banyak keunikan yang ia temui di sana yang pastinya membedakan daerah tersebut dengan kota asalnya.
Nurul mengikuti program yang diselenggarakan komisi dakwah MUI pusat, dalam rangka berdakwah mengikuti apa yang menjadi kebutuhan masyarakat di bidang keagamaan.
Nurul memulai pengabdiannya dari 22 Februari - 22 Agustus 2024. Selama periode tersebut, ia mengajarkan banyak hal, mulai dari mengajar di Taman Pendidikan Quran (TPQ) hingga membimbing majelis taklim.
Namun tidak hanya aktif di bidang dakwah, program ini juga turut ikut serta dalam kegiatan sosial salah satunya melakukan pembekalan public speaking untuk para remaja di daerah tersebut
“Kegiatan aku di sini mulai dari pembekalan public speaking untuk remajanya, terus untuk anak-anak itu belajar ngajinya, dan lain-lain,” tutur Nurul, Selasa (26/3/2024).
Bagi Nurul perjuangan mengikuti program ini tidaklah mudah, bayangkan dari 113 orang pendaftar hanya 36 orang yang lulus seleksi berkas. Setelah itu, 36 orang tersebut harus mengikuti seleksi tertulis dan hanya tersisa 30 orang yang dapat mengikuti seleksi wawancara. Akhirnya dari wawancara tersebut hanya 20 orang yang lulus mengikuti program ini.
Nurul mengatakan bahwa ia sangat beruntung dapat terpilih dalam program ini. Setelah proses seleksi selesai, ia harus mengikuti pembekalan selama 2 hari, banyak materi yang disampaikan dalam pembekalan tersebut.
Setelah sampai di NTT, diadakan lagi pembekalan tentang keadaan geografis daerah setempat, keadaan sosial, apa yang harus dilakukan, dan apa yang tidak boleh dilakukan. Sebagai seorang pendatang, Nurul dan sukarelawan lainnya pun harus menghargai dan menghormati budaya daerah tersebut.
Nurul menuturkan melalui program ini, dia ingin menjadi lebih bermanfaat bagi sesama dan mengenal lebih dalam tentang keberagaman yang ada di Indonesia, serta menambah pengetahuannya lebih luas lagi.
“Kemudian yang kedua aku pengen mengenal kemajemukan Indonesia. Jadi biar kita lebih terbuka gitu pandangannya,” jelas Nurul.
“Selain itu juga dorongan untuk memperkaya pengetahuan kita di luar apa yang sudah kita dapatkan di sekolah formal. Jadi akan sangat berbeda kehidupan sekolah yang dibandingkan kehidupan kita yang benar-benar turun ke masyarakat seperti ini,” tambahnya.
Baginya perjalanan ini bukan hanya perjalanan spiritual, namun ada makna sosial dan salah satu cara melihat Indonesia dari sudut pandang yang berbeda. Bersama 20 sukarelawan lain yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia yang kemudian tersebar di seluruh Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Nurul ditempatkan di Kabupaten Sabu Raijua.Kabupaten seluas 459,6 km² itu memiliki keistimewaan sendiri. Nurul mengatakan bahwa di kabupaten hasil pemekaran di tahun 2008 tersebut, dia menemukan hal yang unik, yaitu hanya ada 1 masjid dan populasi muslimnya kurang dari 1 persen.
“Jadi cuma sekitar 0,7 persen kalau nggak salah dari total populasi yang ada di Kabupaten Sabu Raijua,” terangnya.
Jika melihat data yang diperoleh dari Pemkab Sabu Raijua tahun 2016, tercatat sebanyak 89,86 persen penduduk menganut agama Kristen Protestan, 1,95 persen Katolik, 0,95 persen Islam, serta 7,24 persen penduduk menganut kepercayaan lainnya.
Perbedaan yang beragam sering kali menjadi sebab suatu konflik dan perpecahan, namun ternyata keragaman yang ada di Kabupaten Sabu Raijua ini justru menjadikan kehidupan di sana rukun, tenteram, dan damai di tengah-tengah keberagaman masyarakat.
Di Kabupaten Sabu Raijua, Nurul melihat adat budaya masih sangat terjaga, seperti upacara kematian, pernikahan, dan lain-lainnya. Selain melihat keberagaman yang ada di masyarakat tersebut, Nurul juga sangat takjub dengan keindahan alamnya.
Bagai pecahan surga yang jatuh ke dunia, keindahan alam di kabupaten ini pasti akan memikat hati semua orang. “Jadi alamnya di sana itu bagus banget. Pasti semua orang setuju bahwa di Sabu itu emang bagus banget alamnya,” kata Nurul.
Garis pantai yang melintang dari ufuk timur sampai ufuk barat dan deretan perbukitan yang berdiri kokoh memberikan tempat yang istimewa bagi para penikmatnya.
“Jadi di Sabu ini, di sepanjang garis pantai pemandangannya bagus banget. Hal ini didukung dengan pasir pantainya yang putih dan lembut,” jelas Nurul.
“Terus kalau dari perbukitannya juga bagus-bagus, kita bisa lihat sunrise dan sunset nya cantik, seperti itu,” imbuhnya.
Melalui perjalanan ini, Nurul bisa lebih mengenal berbagai macam keberagaman di negeri ini. Sebelumnya ia hanya sekadar mengetahui dari media.
Nurul menyadari bahwa keberagaman tersebut tidak seharusnya menjadi sebab perpecahan, justru keberagaman tersebut merupakan kekayaan yang perlu terus dilestarikan disertai menjaga kerukunan dan kedamaian antar sesama.(*)
*Tulisan features ini merupakan karya Sirly Nadia Zulfa SMAN 1 Bangorejo, peserta Pelatihan Teknik Menulis Berita di Platform Media Online SMA Double Track yang digagas Dinas Pendidikan Jatim, Unicef, dan Ketik Media