KETIK, YOGYAKARTA – Rencana Pemerintahan Prabowo-Gibran menaikkan rasio hutang Indonesia hingga 50% dari Produk Domestik Bruto (PDB) bersamaan dengan mengerek penerimaan pajak untuk membiayai belanja negara menuai respon sejumlah pihak. Salah satunya dari pengamat ekonomi Edo Segara Gustanto.
Meski peningkatan rasio hutang ini masih dalam tahap wacana, Edo berharap Pemerintah RI dan para legislator dapat mempertimbangkan dengan matang segala risiko yang mungkin timbul sebelum mengambil keputusan final tersebut.
Edo menilai langkah tersebut terlalu gegabah dan berpotensi membahayakan stabilitas ekonomi jangka panjang negara.
"Peningkatan rasio hutang yang signifikan ini dapat menimbulkan berbagai risiko. Termasuk meningkatnya beban pembayaran bunga hutang yang dapat menggerus anggaran negara. Harus hati-hati mengelola hutang negara," ucap Edo yang juga pegiat Koalisi Anti Utang (KAU) dan peneliti dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, (15/7/2024).
Dia menambahkan, peningkatan rasio hutang drastis tanpa perencanaan matang dapat menyebabkan krisis kepercayaan dari investor dan lembaga keuangan internasional. Edo sekaligus menyinggung potensi dampak negatif terhadap nilai tukar rupiah dan inflasi.
Dirinya berpendapat, dengan adanya hutang yang semakin besar, pemerintah mungkin akan kesulitan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, yang pada gilirannya dapat memicu inflasi dan menurunkan daya beli masyarakat.
"Penting juga transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaan dana tersebut," ucapnya.
Dia mengusulkan agar pemerintah memperkuat pengawasan dan evaluasi terhadap setiap proyek yang didanai dari hutang. Itu guna memastikan efektivitas dan efisiensinya.
Karena itu ia juga menegaskan harus memastikan bahwa setiap rupiah yang dipinjam digunakan dengan bijak dan tepat sasaran. Sebab tanpa adanya pengawasan yang ketat, resiko Indonesia terjebak dalam lingkaran hutang sulit diatasi.
Untuk diketahui, Koalisi Anti Utang (KAU) merupakan koalisi masyarakat sipil se-Indonesia yang terdiri atas berbagai elemen masyarakat (organisasi petani, mahasiswa, lingkungan, perempuan, masyarakat adat, buruh, ornop, organisasi keagamaan, akademisi, dan lain-lain). Serta juga individu yang peduli dengan masalah utang luar negeri. (*)