KETIK, MALANG – Ajaran Samin disebarluaskan oleh Raden Kohar atau Samin Surosentiko yang masih berada dalam garis keturunan seorang bangsawan yakni Kyai Keti dari Rajekwesi, Bojonegoro.
Raden Kohar mengganti namanya menjadi Samin supaya tidak tercipta sekat-sekat antara ia dan rakyat kecil. Sedangkan Surosentiko adalah tambahan ketika ia menjadi guru kebatinan.
Pada 1890an Ki Samin menyebarluaskan ajarannya di Desa Klopoduwur, Blora dan menyebabkan banyak warga di desa lain seperti Tapelan, Bojonegoro ikut berguru kepadanya.
Laku tapabrata atau melakukan tirakat, bersemedi, mengantarkan Samin Surosentiko meraih wahyu berupa kitab Kalimosodo yang mengundang semakin banyak pengikut. Ada pengadaptasian dan kemiripan dalam ajaran Samin dengan kisah pewayangan. Diduga ini dilakukan guna memitoskan ajaran tersebut supaya dapat dipegang teguh oleh pengikutnya.
Religiusitas Wong Samin bisa dilihat pada cara mereka memahami hakikat menjadi manusia. Antara religiusitas dan hakikat manusia merupakan dua hal yang saling berhubungan dan berpengaruh untuk dapat mencapai kesempurnaan hidup atau ngerti uripe.
Apa yang mereka jalani, untuk dapat menjadi atmajaya atau anak yang mulia. Cara yang bisa dilakukan ialah dengan menjadi pribadi yang lebih sabar dan giat.
"Lakonana sabar trokal, sabare dieling-eling, trokale dilakoni," atau berarti kerjakanlah sikap sabar dan giat, selalu ingat tentang kesabaran dan giat dalam kehidupan.
Kesabaran yang diimbangi dengan tekun dalam berusaha serta mampu mengontrol keluar-masuknya emosi merupakan jalan yang bisa diraih untuk mencapai pemaknaan mengenai hakikat manusia. Inilah mengapa Ki Samin gemar bersemedi, selain untuk melatih kesabaran juga memusatkan pikiran supaya lepas dari segala bentuk penderitaan.
Dalam ajaran Samin, seseorang harus adyatmika, mendapatkan terang untuk jasmani dan rohaninya. Ki Samin pernah menyampaikan perihal jatmika yakni sikap tenang, teduh dan mandiri dengan dihubungkan oleh aktivitas fisik kepada pengikutnya.
Terdapat lima saran perihal jatmika. Seperti jatmika dalam kehendak adalah sikap yang dilandaskan pada pengendalian diri. Jatmika dalam beribadah disertai pengabdian ke sesama makhluk, jatmika mawas diri untuk keseimbangan diri dan lingkungan, jatmika dalam menghadapi bencana sebagai cobaan untuk makhluk-Nya, dan terakhir adalah jatmika sebagai pegangan budi sejati.
Kejatmikaan ini digunakan oleh Wong Samin untuk menyelesaikan dan menghadapi permasalahan hidup yang tidak jarang disebabkan karena kerapuhan diri.
Ajaran seperti inilah yang menjadi pegangan hidup Wong Samin, tidak hanya mengatur hubungan tentang diri sendiri saja, namun pencapaian menuju Tuhan dan juga kepada sesama makhluk termasuk alam semesta.
Keseimbangan yang terjadi antara diri sendiri, manusia, alam dan Tuhan harus sejalan beriringan tanpa adanya berat sebelah. Oleh karena itu mereka mempunyai keyakinan untuk selalu mewawas diri, mengoreksi diri sendiri secara jujur perihal tingkah laku terhadap alam dan keseimbangan di dalamnya.
Kita bisa melihat ajaran Samin ini sebagai salah satu referensi untuk bertingkah laku kepada sesama manusia. Ada jatmika yang mengatur manusia untuk melakukan pengendalian diri, mereka tidak diperbolehkan untuk mengganggu orang seperti bertengkar dan iri hati. Tindakan tersebut hanya menjadikan manusia menuju ketidakbahagiaan, bahwa setiap manusia pasti mempunyai porsi tersendiri yang sudah dipersiapkan.
Hal ini juga beriringan dengan larangan untuk mengambil barang orang lain tanpa seijinnya. Ajaran inilah yang besar kemungkinannya menjadi dasar mengapa terdapat sekelompok masyarakat Samin yang kukuh untuk mempertahankan alam pertaniannya ketika terjadi konflik dengan salah satu pabrik semen.
Referensi: Mukodi, D., & Burhauddin, A. (2015). Pendidikan Samin Surosentiko. Yogyakarta: Lentera Kreasindo.
Melihat Sejarah dan Religiusitas Wong Samin
Jurnalis: Lutfia Indah
Editor: Muhammad Faizin
30 Desember 2024 11:45 30 Des 2024 11:45