KETIK, MALANG – Oknum Pengasuh Ponpes di Kabupaten Malang berinisial MTA, divonis 15 tahun penjara dalam sidang di PN Kepanjen, Senin, (8/1/2024). Oleh majelis hakim ia dinyatakan terbukti mencabuli 5 santriwati di Ponpesnya.
Vonis terhadap pengasuh salah satu ponpes di Kecamatan Tajinan, Kabupaten Malang tersebut sesuai dengan tuntutan yang dibacakan oleh jaksa penuntut umum pada sidang sebelumnya.
MTA dijerat Pasal 82 Ayat 2 jo Pasal 76 huruf E Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 65 Ayat 1 KUHP. Ia juga wajib membayar denda Rp1 Miliar.
"Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Muhammad Tamyis (MTA) dengan pidana penjara selama 15 tahun, denda sejumlah Rp 1 Miliar, dengan ketentuan apabila tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama enam bulan," ujar Ketua Majelis Hakim Jimmi Hendrik Tanjung dalam pembacaan amar putusan persidangan.
Usai sidang putusan berlangsung, terdakwa keluar dari ruang sidang dengan muka ditutup menggunakan tangan. Kemudian masuk ke dalam mobil tahanan.
Untuk diketahui, MTA dilaporkan oleh lima orang korban santrinya dengan tuduhan pelecehan seksual. Mereka mengaku dilecehkan oleh terdakwa saat masih menimba ilmu di salah satu pondok pesantren yang ada di Desa Tangkilsari, Kecamatan Tajinan, Kabupaten Malang.
Peristiwa ini terjadi selama lebih dari tiga tahun. Pada saat itu, para korban masih di bawah umur. Mereka diminta menurut kepada terdakwa saat dilecehkan sebagai bentuk kepatuhan pada guru. Setelah dilecehkan, korban juga diberi uang oleh tersangka sebesar Rp 50 ribu hingga Rp 100 ribu.
Tri Eva Oktaviani, perwakilan tim pendamping hukum dari YLBHI-LBH Surabaya Pos Malang mengapresiasi majelis hakim yang telah memvonis penjara 15 tahun kepada terdakwa. Hal ini lantaran menjadi titik terang bagi korban, dengan vonis yang tidak lebih rendah dari tuntutan jaksa.
"Kami mengapresiasi atas pertimbangan majelis hakim yang memberatkan hukuman. Bahwa melihat korban yang tergolong anak-anak kemudian memiliki masa depan menjadi korban pencabulan oleh seorang tenaga pendidik. Sehingga bisa menciderai masa depan harkat dan martabat anak. Apalagi anak mengalami kondisi trauma," kata Tri Eva.
Menurutnya, selain karena anak-anak, ada beberapa poin yang disepakati terkait dengan putusan majelis hakim. Misalnya terkait pelaku yang merupakan seorang kiai dan tenaga pendidik di pondok pesantren.
Dimana perilaku cabul dinilai menciderai pondok atau tenaga pendidik di lembaga berbasis keagamaan. "Kami akan tetap mengawal meski pihak terdakwa akan melakukan proses hukum luar biasa di kemudian hari yang juga menjadi haknya. Itu komitmen kami," imbuh Eva.
Sementara itu, kuasa hukum terdakwa, MS Alhaidary menuturkan, dirinya akan melakukan banding dalam waktu dekat ini. Sebab, ia menilai dari awal proses hukum itu dinilai cacat.
"Kita banding mestinya. Perkara ini sejak awal cacat. Mulai dari penyerahan berkas perkara ke pengadilan, itu tidak sesuai dengan penetapan," katanya.
Selain itu, katanya, tidak satupun saksi korban, mulai penyidikan sampai persidangan dipanggil memberikan keterangan sebagai saksi terhadap perkara ini.
"Prinsipnya, kejahatan terhadap anak di bawah umur kejahatan serius. Namun, jangan dijadikan untuk memfitnah orang lain," tuturnya. (*)